BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih
muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia
lainnya dalam sebuah masyarakat. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat.
Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas didalam fiqih muamalah ialah
ijarah.
Ijarah
merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini, yang menjadi
obyek transaksi adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Ijarah sering
disebut dengan ‘upah’ atau ‘imbalan’. Ijarah yang sering kita kenal dengan
persewaan, sangat sering membantu kehidupan, karena dengan adanya ijarah ini,
seseorang yang terkadang belum bisa membeli benda untuk kebutuhan hidupnya,
maka bisa diperbolehkan dengan cara menyewa.
Sebagaimana
transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu. Kebanyakan para
pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan kebiasaan
saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku.
A.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian dari Ijarah ?
2. Bagaimana dasar hukum berlakunya Ijarah ?
3. Apa
saja rukun dan syarat Ijarah ?
4. Apa
saja macam-macam Ijarah ?
5. Bagaimana
penentuan upah untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah ?
6. Faktor
apa saja yang menyebabkan Ijarah itu batal dan berakhir ?
B.
Tujuan
Penulisan
1. Mahasiswa
dapat mengetahui pengertian Ijarah dari berbagai pandangan
2. Mahasiswa
dapat mengetahui sumber hukum yang mendasari Ijarah
3. Mahasiswa
dapat mengetahui syarat dan rukun dari Ijarah
4. Mahasiswa
mengetahui macam-macam Ijarah yang sering kita temukan di lingkungan sekitar
5. Mahasiswa
memahami apa yang harus dilakukan ketika di hadapkan dengan upah yang berkaitan
dengan ibadah
6. Mahasiswa
mengetahui gambaran hal-hal yang menyebabkan suatu Ijarah batal atau berakhir
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijarah[1]
Menurut
etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut
terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan
beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
a. Ulama
Hanafiyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan
dengan pengganti.”
b. Ulama
Asy-Syafi’iyah : “ Akad atas suatu
kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti
atau kebolehan dengan pengganti tertentu. “
c. Ulama
Malikiyah dan Hanabilah : “ Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. “
Ada
yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni
mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar. Kemudian
Ijarah akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah atas
benda.
Jumhur
ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh
disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang
menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur
untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya tetapi
bendanya.
Menanggapi
pendapat di atas , Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam
Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal Ijarah sebagimana ditetapkan ulama
fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari
Al-qur’an, As sunnah, ijma’ maupun qiyas yang sahih. Menurutnya, benda yang
mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misal pohon
yang mengelurkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat dihukumi manfaat,
sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari suatu atau sama
juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnta. Dengan demikian, sama saja
antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat
sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.
B. Dasar Hukum
Ijarah[2]
Hampir
semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa Ijarah disyariatkan dalam Islam. Walaupun
ada beberapa golongan yang tidak menyepakatinya. Ibn Rusyd berpendapat bahwa
kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut
kebiasaan (adat).
Jumhur
ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As sunnah
dan ijma’.
a. Al-Qur’an
“Jika
mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.”
Dalam QS. Thalaq : 6
“Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata, “ Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”
Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya bermaksud menikahkan kamu dengan salah
satu dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun,. Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan)
dari kamu.” Dalam QS. Al- Qashash : 26-27
b. As
Sunnah
“
Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”
(HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)
“Barang
siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beri tahukanlah upahnya.”
(HR.Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c. Ijma’
Umat Islam pada masa
sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia
(Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i dari Sa’id ibn Abi Waqash)
C. Rukun dan Syarat
Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan
menggunakan kalimat : al-ijarah,
al-isti’jar, al-iktira’,dan al-ikra.
Adapun
menurut Jumhur ulama , rukun Ijarah ada 4, yaitu :
-
‘Aqid
(orang yang akad)
-
Shighat
akad
-
Ujrah
(uprah)
-
Manfaat
Syarat
Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah dan syarat lazim.
1. Syarat
Terjadinya Akad[3]
Sebagaimana
telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad disyaratkan harus berakal dan
mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi,
jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila
telah diizinkan walinya.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz
adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.
Ulama
Hababilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu
baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli
akad.
2. Syarat
Pelaksanaan (an-nafadz)
Agar
ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan
penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang
dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau diizinkan oleh
pemiliknya)tidak dapat menjadikan adanya ijarah.
3. Syarat
Sah Ijarah
Keabsahan
ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih(barang
yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-a’aqad), yaitu :
a. Adanya
keridhaan dari kedua pihak yang akad
“
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu
dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka
sama suka ” (QS. An-Nisa’:29)
Ijarah dapat
dikategorikan jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini
berkaitan dengan ‘aqid.
b. Ma’qud
‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada
ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid.
Di antara cara untuk
mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya,
pembatasan waktu. Atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan
atau jasa seseorang.
4. Syarat
kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut :
-Ma’qud
alaih (barang sewaan ) yang terhindar dari cacat
Jika terdapat cacat
pada ma’qud alaih (barang sewaan), penyewa boleh memilih antara meneruskan
dengan membayar penuh atau membatalkannya.
-Tidak
ada uzur yang dapat membatalkan akaq
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa Ijarah batal karena adanya uzur sebab kebutuhan atau manfaat
akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang dimaksudkan adalah sesuatu yang baru
yang menyebabkan kemadaratan bagi yang akad.
5. Ujrah
(Upah)
Para Ulama telah
menetapkan syarat upah :
a. Berupa
harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihak
b. Tidak
boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah
dengan menempati rumah tersebut. Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan
membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu
dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham (HR. Ahmad dan
Abu Dawud)
D. Macam-Macam
Ijarah[4]
1. Ijarah
‘Ala Al-Manfi’
Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah
manfaat atau benda. Seperti contoh, menyewakan mobil atau kendaraan, menyewakan
rumah dan lain-lain, Yang perlu di perintahkan adalah tidak boleh menjadikan
obyek sebagai tempat yang manfaatnya dilarang oleh syara’
2. Ijarah
‘Ala Al-‘Amal ijarah
Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah
jasa atau pekerjaan. Contohnya adalah penjahit atau jasa insiyur dalam
pembangunan dan lain-lain. Dan tentunya manfaat yang diberikan tidak keluar
atau dilarang oleh syara’. Akad ijarah ini, terkait erat dengan masalah upah
mengupah. Ajir dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
- Ajir
Khass (pekerjaan khusus) : pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan
secara individual dalam waktu yang telah ditentukan. Contoh : pembantu rumah
tangga. Menyusui anak (seperti zaman Rasulullah).
- Ajir
Musytarak : orang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terkait oleh orang
tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan penyerahan dirinya
terhadap pihak lain. Contoh insiyur atau pengacara.
E. Upah untuk Jasa
yang Berkaitan dengan Ibadah
Upah
dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca
Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulana karena berbeda cara
pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.
Mazhab
Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain
untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan
kepada orang tertenu seperti kepada ibu bapak dari yang menyewa, adzan, qamat
dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut.
Rasulullah
SAW bersabda, “ Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan
jalan itu”
Rasulullah
SAW bersabda “ Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah
kamu pungut dari adzan itu suatu upah.”
Perbuatan
seperti adzan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan dzikir
tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil
upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
Hal
yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seseorang muslim
wafat, maka keluarganya menyusurh para santri atau muslim lainnya untuk membaca
Al-Qur’an di rumhanya selama beberapa malam, dan ketika selesai pada waktu yang
telah ditentukan , mereka diberi upah.
Pekerjaan
ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk
memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang dihadiahkan kepada
mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala pembacaan
ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang
lain.
Allah
SWT berfirman, “ Ia mendapat pahal (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah 2 :286)
Beberapa
pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :
1. Imam
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan
mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah.
Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan
pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
2. Madzhab
Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan
mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan
yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
3. Menurut
madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan
Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh,
diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
Namun, boleh mengambil
upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti
mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk
kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.
4. Imam
syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat,
bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan
mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh,
namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.
Ø PEMBAYARAN UPAH
dan SEWA
Jika
Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu
berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah
berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan
penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur
sesuai dengan manfaat yang diterimanya.
Menurut
Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika
mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa), ia berhak
menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya. Hak menerima
upah musta’jir adalah sebagai berikut :
1. Ketika
pekerjaan selesai dikerjakan
Rasulullah Saw
bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu mengering”. (HR. Ibnu
Majah)
2. Jika
menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa terjadi kecuali bila dalam
akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan
berlangsung.
Ø TANGGUNG JAWAB
ORANG yang DIGAJI/UPAH
Pada
dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat) harus
mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan
atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian/kesengajaan
atau tidak. Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsur
kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah
dengan cara mengganti atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.
Sekiranya
menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang
sepatu, maka ulama berbeda pendapat.
Imam
Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena
unsur kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.
Abu
Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa
pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik disengaja
ataupun tidak. Berbeda tentu kalau terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya
seperti banjir, kebakaran, gempa dll.
Menurut
madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti
binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun tidak,
segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.
Ø MENYEWAKAN
BARANG SEWAAN[5]
Musta’jir
dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain dengan syarat
penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad.
Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa
untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul
musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga
penyewaan yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil atau sama.
Bila
ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah
pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari
kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat
kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.
Misalnya
menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada
tempat yang aman.
F.
Pembatalan
dan Berakhirnya Ijarah
Di
dalam ijarah, akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak,
karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang di
wajibkan fasakh (batal).
Ijarah akan menjadi
batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a) Terjadi
cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
b) Rusaknya
barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
c) Rusaknya
barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk
dijahitkan;
d) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan,
berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan;
e) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari
salah satu pihak, seperti yang menyewakan toko untuk dagang, kemudian
dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[6]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut
etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut
terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan
beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :
c. Ulama
Hanafiyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan
dengan pengganti.”
d. Ulama
Asy-Syafi’iyah : “ Akad atas suatu
kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti
atau kebolehan dengan pengganti tertentu. “
e. Ulama
Malikiyah dan Hanabilah : “ Menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. “
Ada
yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni
mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-menyewa,
yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar. Kemudian
Ijarah akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah atas
benda.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As sunnah
dan ijma’.
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan
menggunakan kalimat : al-ijarah,
al-isti’jar, al-iktira’,dan al-ikra.
Adapun
menurut Jumhur ulama , rukun Ijarah ada 4, yaitu :
-
‘Aqid
(orang yang akad)
-
Shighat
akad
-
Ujrah
(uprah)
-
Manfaat
Syarat
Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah dan syarat lazim. Macam-macam Ijarah :
1. Ijarah
‘Ala Al-Manfi’
Yaitu ijarah yang obyek
akadnya adalah manfaat atau benda. Seperti contoh, menyewakan mobil atau
kendaraan, menyewakan rumah dan lain-lain, Yang perlu di perintahkan adalah
tidak boleh menjadikan obyek sebagai tempat yang manfaatnya dilarang oleh
syara’
2. Ijarah
‘Ala Al-‘Amal ijarah
Yaitu ijarah yang obyek
akadnya adalah jasa atau pekerjaan. Contohnya adalah penjahit atau jasa insiyur
dalam pembangunan dan lain-lain. Dan tentunya manfaat yang diberikan tidak
keluar atau dilarang oleh syara’. Akad ijarah ini, terkait erat dengan masalah
upah mengupah.
Beberapa
pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :
1. Imam
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan
mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah.
Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan
pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.
2. Madzhab
Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan
mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan
yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.
3. Menurut
madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan
Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh,
diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.
Namun, boleh mengambil
upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti
mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk
kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.
4. Imam
syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat,
bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan
mayat dan membangun madrasah adalah boleh.
Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh,
namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.
Ijarah
akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
a) Terjadi cacat pada barang sewaan yang
kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;
b) Rusaknya barang yang disewakan, seperti
rumah menjadi runtuh dan sebagainya;
c) Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur
‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;
d) Terpenuhinya manfaat yang diakadkan,
berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan;
e) Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari
salah satu pihak, seperti yang menyewakan toko untuk dagang, kemudian
dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.
B. Saran
Makalah ini masih jauh
dari sempurna, ada beberapa poin yang belum kami sampaikan. Untuk mahasiswa
selanjutnya dapat kiranya makalah ini dijadikan referensi untuk penyempurnaan
makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia
“Ijarah-Pengertian,
Dasar Hukum,Rukun dan Syarat serta macam-macamnya”. dalam http://www.sarjana123.com/2017/08ijarah-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan.html?m=1 diakses 27 Februari 2018
Syarifuddin Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana
“Ijarah
sewa-menyewah dan upah” dalam http://pasar-islam.blogspot.co.id/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-upah.html?m=1 diakses 27
Februari 2018
Nor. Dumairi, dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan :
Pustaka Sidogiri
[1] Rachmat
Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setia,2001)
[2] Ibid, Rachmat
Syafe’i, hal.123
[4] “Ijarah-Pengertian, Dasar Hukum,Rukun dan
Syarat serta macam-macamnya”, dalam http://www.sarjana123.com/2017/08ijarah-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan.html?m=1
diakses 27 Februari 2018
[5] “Ijarah sewa-menyewah dan upah” dalam http://pasar-islam.blogspot.co.id/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-upah.html?m=1
diakses 27 Februari 2018
BalasHapusmantep informasinya. untuk berita lengkap lainnya bisa kunjungi
berita terkini
berita otomotif
berita bola