Breaking News

Rabu, 09 Mei 2018

MAKALAH IJARAH


BAB I

PENDAHULUAN



A.  Latar Belakang

Fiqih muamalah merupakan aturan yang membahas tentang hubungan manusia dengan manusia lainnya dalam sebuah masyarakat. Didalamnya termasuk kegiatan perekonomian masyarakat. Salah satu jenis transaksi ekonomi yang dibahas didalam fiqih muamalah ialah ijarah.

Ijarah merupakan salah satu bentuk transaksi muamalah yang banyak dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Didalam pelaksanaan ijarah ini, yang menjadi obyek transaksi adalah manfaat yang terdapat pada sebuah zat. Ijarah sering disebut dengan ‘upah’ atau ‘imbalan’. Ijarah yang sering kita kenal dengan persewaan, sangat sering membantu kehidupan, karena dengan adanya ijarah ini, seseorang yang terkadang belum bisa membeli benda untuk kebutuhan hidupnya, maka bisa diperbolehkan dengan cara menyewa.

Sebagaimana transaksi umum, maka ijarah memiliki aturan-aturan tertentu. Kebanyakan para pelaku ijarah saat ini melakukan transaksi ini hanya berdasarkan kebiasaan saja, tanpa tahu dasar hukum dan aturan-aturan yang berlaku.

A.      Rumusan Masalah

1.    Apa pengertian dari Ijarah ?

2.    Bagaimana  dasar hukum berlakunya Ijarah ?

3.    Apa saja rukun dan syarat Ijarah ?

4.    Apa saja macam-macam Ijarah ?

5.    Bagaimana penentuan upah untuk jasa yang berkaitan dengan ibadah ?

6.    Faktor apa saja yang menyebabkan Ijarah itu batal dan berakhir ?

B.       Tujuan Penulisan

1.    Mahasiswa dapat mengetahui pengertian Ijarah dari berbagai pandangan

2.    Mahasiswa dapat mengetahui sumber hukum yang mendasari Ijarah

3.    Mahasiswa dapat mengetahui syarat dan rukun dari Ijarah

4.    Mahasiswa mengetahui macam-macam Ijarah yang sering kita temukan di lingkungan sekitar

5.    Mahasiswa memahami apa yang harus dilakukan ketika di hadapkan dengan upah yang berkaitan dengan ibadah

6.    Mahasiswa mengetahui gambaran hal-hal yang menyebabkan suatu Ijarah batal atau berakhir

















































BAB II

PEMBAHASAN



A.  Pengertian Ijarah[1]

Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :

a.    Ulama Hanafiyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”

b.    Ulama Asy-Syafi’iyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. “

c.    Ulama Malikiyah dan Hanabilah : “ Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. “

Ada yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar. Kemudian Ijarah akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah atas benda.

Jumhur ulama fiqih berpendapat bahwa Ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan manfaatnya tetapi bendanya.

Menanggapi pendapat di atas , Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal Ijarah sebagimana ditetapkan ulama fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-qur’an, As sunnah, ijma’ maupun qiyas yang sahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misal pohon yang mengelurkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat dihukumi manfaat, sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari suatu atau sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnta. Dengan demikian, sama saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.

B.  Dasar Hukum Ijarah[2]

Hampir semua ulama ahli fiqih sepakat bahwa Ijarah disyariatkan dalam Islam. Walaupun ada beberapa golongan yang tidak menyepakatinya. Ibn Rusyd berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak berbentuk, dapat dijadikan alat pembayaran menurut kebiasaan (adat).

Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As sunnah dan ijma’.

a.       Al-Qur’an

“Jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah mereka upahnya.” Dalam QS. Thalaq : 6



“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “ Ya ayahku, ambilah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Berkatalah dia (Syu’aib), “Sesungguhnya bermaksud menikahkan kamu dengan salah satu dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun,. Dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu.” Dalam QS. Al- Qashash : 26-27

b.      As Sunnah

“ Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibn Majah dari Ibn Umar)



“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beri tahukanlah upahnya.” (HR.Abd Razaq dari Abu Hurairah)

c.       Ijma’

Umat Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat bagi manusia (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i dari Sa’id ibn Abi Waqash)

C.  Rukun dan Syarat Ijarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’,dan al-ikra.

Adapun menurut Jumhur ulama , rukun Ijarah ada 4, yaitu :

-          ‘Aqid (orang yang akad)

-          Shighat akad

-          Ujrah (uprah)

-          Manfaat

Syarat Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah dan syarat lazim.

1.    Syarat Terjadinya Akad[3]

Sebagaimana telah dijelaskan dalam jual-beli, menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang melakukan akad disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya sendiri, akad ijarah anak mumayyiz, dipandang sah bila telah diizinkan walinya.

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli, sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz adalah sah, tetapi bergantung atas keridaan walinya.

Ulama Hababilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli akad.

2.    Syarat Pelaksanaan (an-nafadz)

Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia memiliki kekuasaan penuh untuk akad (ahliah). Dengan demikian, Ijarah al-fudhul (ijarah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan atau diizinkan oleh pemiliknya)tidak dapat menjadikan adanya ijarah.

3.    Syarat Sah Ijarah

Keabsahan ijarah sangat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang akad), ma’qud ‘alaih(barang yang menjadi objek akad), ujrah (upah), dan zat akad (nafs al-a’aqad), yaitu :

a.    Adanya keridhaan dari kedua pihak yang akad

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakai harta sesamamu dengan jalan yang batal, kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka ” (QS. An-Nisa’:29)

Ijarah dapat dikategorikan jual-beli sebab mengandung unsur pertukaran harta. Syarat ini berkaitan dengan ‘aqid.

b.    Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas

Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang) menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid.

Di antara cara untuk mengetahui ma’qud ‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu. Atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

4.    Syarat kelaziman ijarah terdiri atas dua hal berikut :

-Ma’qud alaih (barang sewaan ) yang terhindar dari cacat

Jika terdapat cacat pada ma’qud alaih (barang sewaan), penyewa boleh memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.

-Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akaq

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Ijarah batal karena adanya uzur sebab kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang dimaksudkan adalah sesuatu yang baru yang menyebabkan kemadaratan bagi yang akad.

5.    Ujrah (Upah)

Para Ulama telah menetapkan syarat upah :

a.       Berupa harta tetap yang diketahui oleh kedua belah pihak

b.      Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah, seperti upah menyewa rumah dengan menempati rumah tersebut. Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah SAW melarang kami cara itu dan memerintahkan kami agar membayarnya dengan dinar dan dirham (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

D.  Macam-Macam Ijarah[4]

1.    Ijarah ‘Ala Al-Manfi’

Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat atau benda. Seperti contoh, menyewakan mobil atau kendaraan, menyewakan rumah dan lain-lain, Yang perlu di perintahkan adalah tidak boleh menjadikan obyek sebagai tempat yang manfaatnya dilarang oleh syara’

2.    Ijarah ‘Ala Al-‘Amal ijarah

Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah jasa atau pekerjaan. Contohnya adalah penjahit atau jasa insiyur dalam pembangunan dan lain-lain. Dan tentunya manfaat yang diberikan tidak keluar atau dilarang oleh syara’. Akad ijarah ini, terkait erat dengan masalah upah mengupah. Ajir dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :

-       Ajir Khass (pekerjaan khusus) : pekerja atau buruh yang melakukan suatu pekerjaan secara individual dalam waktu yang telah ditentukan. Contoh : pembantu rumah tangga. Menyusui anak (seperti zaman Rasulullah).

-       Ajir Musytarak : orang yang bekerja dengan profesinya dan tidak terkait oleh orang tertentu. Dia mendapatkan upah karena profesinya, bukan penyerahan dirinya terhadap pihak lain. Contoh insiyur atau pengacara.

E.  Upah untuk Jasa yang Berkaitan dengan Ibadah

Upah dalam perbuatan ibadah (ketaatan) seperti shalat, shaum, haji dan membaca Al-Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulana karena berbeda cara pandang terhadap pekerjaan-pekerjaan ini.

Mazhab Hanafi berpendapat bahwa ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, shaum, haji atau membaca Al-Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertenu seperti kepada ibu bapak dari yang menyewa, adzan, qamat dan menjadi imam, haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut.

Rasulullah SAW bersabda, “ Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari) makan dengan jalan itu”

Rasulullah SAW bersabda “ Jika kamu mengangkat seseorang menjadi mu’adzin maka janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah.”

Perbuatan seperti adzan, qamat, shalat, haji, shaum, membaca Al-Qur’an dan dzikir tergolong perbuatan untuk taqarrub kepada Allah karenanya tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.

Hal yang sering terjadi di beberapa daerah di nusantara, apabila seseorang muslim wafat, maka keluarganya menyusurh para santri atau muslim lainnya untuk membaca Al-Qur’an di rumhanya selama beberapa malam, dan ketika selesai pada waktu yang telah ditentukan , mereka diberi upah.

Pekerjaan ini batal menurut Islam karena membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya. Lantas apa yang dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an berniat karena Allah, maka pahala pembacaan ayat Al-Qur’an untuk dirinya sendiri dan tidak bisa diberikan kepada orang lain.

Allah SWT berfirman, “ Ia mendapat pahal (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah 2 :286)

Beberapa pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :

1.      Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.

2.      Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.

3.      Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.

Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.

4.      Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.

Ø  PEMBAYARAN UPAH dan SEWA

Jika Ijarah itu suatu pekerjaan maka kewajiban pembayaran upahnya pada waktu berakhirnya pekerjaan. Bila tidak ada pekerjaan lain, jika akad sudah berlangsung dan tidak disyaratkan mengenai pembayaran dan tidak ada ketentuan penangguhannya, menurut Abu Hanifah wajib diserahkan upahnya secara berangsur sesuai dengan manfaat yang diterimanya.

Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, sesungguhnya ia berhak dengan akad itu sendiri. Jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir (penyewa), ia berhak menerima bayarannya karena musta’jir sudah menerima kegunaannya. Hak menerima upah musta’jir adalah sebagai berikut :

1.      Ketika pekerjaan selesai dikerjakan

Rasulullah Saw bersabda, “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu mengering”. (HR. Ibnu Majah)

2.      Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa terjadi kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selama penyewaan berlangsung.

Ø  TANGGUNG JAWAB ORANG yang DIGAJI/UPAH

Pada dasarnya semua yang dipekerjakan untuk pribadi dan kelompok (serikat) harus mempertanggungjawabkan pekerjaan masing-masing. Sekiranya terjadi kerusakan atau kehilangan, maka dilihat dahulu permasalahannya apakah ada unsur kelalaian/kesengajaan atau tidak. Jika tidak maka tidak perlu diminta penggantinya dan jika ada unsur kelalaian atau kesengajaan, maka dia harus mempertanggungjawabkannya, apakah dengan cara mengganti atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.

Sekiranya menjual jasa itu untuk kepentingan orang banyak seperti tukang jahit dan tukang sepatu, maka ulama berbeda pendapat.

Imam Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa apabila kerusakan itu bukan karena unsur kesengajaan dan kelalaian maka pekerja itu tidak dituntut ganti rugi.

Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (murid Abu Hanifah) berpendapat bahwa pekerja itu ikut bertanggung jawab atas kerusakan tersebut, baik disengaja ataupun tidak. Berbeda tentu kalau terjadi kerusakan di luar batas kemampuannya seperti banjir, kebakaran, gempa dll.

Menurut madzhab Maliki, apabila sifat pekerjaan itu membekas pada barang itu seperti binatu, juru masak dan buruh angkut (kuli) maka baik sengaja maupun tidak, segala kerusakan menjadi tanggung jawab pekerja itu dan wajib ganti rugi.

Ø  MENYEWAKAN BARANG SEWAAN[5]

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi bawang sewaan kepada orang lain dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini boleh lebih besar, lebih kecil atau sama.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir) dengan syarat kecelakaan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir, bila kecelakaan atau kerusakan benda yang disewa akibat kelalaian musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah musta’jir itu sendiri.

Misalnya menyewa mobil, kemudian mobil itu hilang dicuri karena disimpan bukan pada tempat yang aman.

F.   Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Di dalam ijarah, akad tidak membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang di wajibkan fasakh (batal).

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:

a)      Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;

b)      Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;

c)      Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;

d)      Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan;

e)       Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.[6]



















BAB III

PENUTUP



A.  Kesimpulan

Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :

c.       Ulama Hanafiyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”

d.      Ulama Asy-Syafi’iyah : “ Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. “

e.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah : “ Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti. “

Ada yang menerjemahkan Ijarah sebagai jual beli jasa (upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkannya sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat dari barang. Menurut penulis keduanya benar. Kemudian Ijarah akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu Ijarah atas jasa dan Ijarah atas benda.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Ijarah disyariatkan berdasarkan Al-Qur’an, As sunnah dan ijma’.

Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira’,dan al-ikra.

Adapun menurut Jumhur ulama , rukun Ijarah ada 4, yaitu :

-          ‘Aqid (orang yang akad)

-          Shighat akad

-          Ujrah (uprah)

-          Manfaat

Syarat Ijarah terdiri dari 4 macam, sebagaimana syarat dalam jual-beli, yaitu syarat al-inqad (terjadinya akad), syarat an-nafadz (syarat pelaksanaan akad), syarat sah dan syarat lazim. Macam-macam Ijarah :

1.      Ijarah ‘Ala Al-Manfi’

Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah manfaat atau benda. Seperti contoh, menyewakan mobil atau kendaraan, menyewakan rumah dan lain-lain, Yang perlu di perintahkan adalah tidak boleh menjadikan obyek sebagai tempat yang manfaatnya dilarang oleh syara’

2.      Ijarah ‘Ala Al-‘Amal ijarah

Yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah jasa atau pekerjaan. Contohnya adalah penjahit atau jasa insiyur dalam pembangunan dan lain-lain. Dan tentunya manfaat yang diberikan tidak keluar atau dilarang oleh syara’. Akad ijarah ini, terkait erat dengan masalah upah mengupah.

Beberapa pendapat ulama mazhab tentang upah dalam ibadah :

1.      Imam Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawat Al-Qur’an dan mengajarkannya bila kaitan pembacaan dan pengajarannya dengan taat atau ibadah. Sementara Maliki berpendapat boleh mengambil imbalan dari pembacaan dan pengajaran Al-Qur’an, azan dan badal Haji.

2.      Madzhab Maliki, Syafi’I dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu-ilmu karena ini termasuk jenis imbalan perbuatan yang diketahui dan dengan yang diketahui pula.

3.      Menurut madzhab Hambali bahwa pengambilan upah dan pekerjaan azan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan shaum qadha adalah tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut.

Namun, boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk kepada mashalih seperti mengajarkan Al-Qur’an, hadits dan fiqih. Dan haram mengambil upah yang termasuk kepada taqarrub seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan ibadah yang lainnya.

4.      Imam syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat, bahasa, sastra, fiqih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayat dan membangun madrasah adalah boleh.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa pengambilan upah menggali kuburan dan membawa jenazah boleh, namun pengambilan upah memandikan mayat tidak boleh.

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:

a)    Terjadi cacat pada barang sewaan yang kejadian itu terjadi pada tangan penyewa;

b)    Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya;

c)    Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan;

d)    Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan;

e)    Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, seperti yang menyewakan toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.



B.  Saran

Makalah ini masih jauh dari sempurna, ada beberapa poin yang belum kami sampaikan. Untuk mahasiswa selanjutnya dapat kiranya makalah ini dijadikan referensi untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.











DAFTAR PUSTAKA



Syafe’i Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia

“Ijarah-Pengertian, Dasar Hukum,Rukun dan Syarat serta macam-macamnya”. dalam http://www.sarjana123.com/2017/08ijarah-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan.html?m=1 diakses 27 Februari 2018



Syarifuddin Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana



“Ijarah sewa-menyewah dan upah” dalam http://pasar-islam.blogspot.co.id/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-upah.html?m=1 diakses 27 Februari 2018



Nor. Dumairi, dkk. Ekonomi Syariah Versi Salaf. Pasuruan : Pustaka Sidogiri

















[1] Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV Pustaka Setia,2001)
[2] Ibid, Rachmat Syafe’i, hal.123
[3] Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2003)
[4] “Ijarah-Pengertian, Dasar Hukum,Rukun dan Syarat serta macam-macamnya”, dalam http://www.sarjana123.com/2017/08ijarah-pengertian-dasar-hukum-rukun-dan.html?m=1 diakses 27 Februari 2018
[5] “Ijarah sewa-menyewah dan upah” dalam http://pasar-islam.blogspot.co.id/2010/10/bab-8-ijarah-sewa-menyewa-dan-upah.html?m=1 diakses 27 Februari 2018

[6] Dumairi Nor, dkk, Ekonomi Syariah Versi Salaf, (Pasuruan : Pustaka Sidogiri)
Read more ...
Designed By